Memorandum of Understanding

April 2000


Memorandum of Understanding for Tactical Coordination in the border area between Nusatenggara Timur (West Timor) and East Timor between the TNI and the UNTAET Military Component
Surat Perjanjian Untuk Koordinasi Taktis antara TNI, dan UNTAET Komponen Militer di Wilayah Perbatasan antara Nusatenggara Timur dan Timor Timur

1. This memorandum of understanding is between the Tentara Nasional Indonesia (TNI) and the United Nations Transitional Administration in East Timor (UNTAET) Military Component. The UNTAET Military Component comprises of the UNTAET Peacekeeping Force (PKF) and the UNTAET United Nations Military Observers (UNMOs). The memorandum conforms to the previous memorandum signed on 12 January 2000 between the International Force in East Timor (INTERFET), TNI and UNTAET and includes some additional matters.
  Surat perjanjian ini dibuat antara Tentara Nasional Indonesia (TNI), dan United Nations Transitional Administration in East Timor (UNTAET) Komponen Militer. Komponen Militer UNTAET terdiri dari dua bagian, yaitu, UNTAET Peacekeeping Force (PKF) dan UNTAET United Nations Military Observers (UNMO). Surat perjanjian ini sesuai dengan surat perjanjian sebelumnya yang ditandatangani pada tanggal 12 Januari 2000 antara International Force in East Timor (INTERFET), TNI dan UNTAET dengan memasukan beberapa hal tambahan.
 
2. The purpose of this memorandum of understanding is to facilitate understanding and close cooperation between the parties in the border area between East Timor and Nusatenggara Timur in order to manage possible incidents and to assist in the return of refugees to East Timor. The memorandum does not deal with, or replace, the civil law border control requirements of Indonesia and East Timor. The border area comprises both the East-West border area between East Timor and Nusatenggara Timur (hereafter referred to as the 'East-West border area'), and the Oecussi border area between the Oecussi enclave of East Timor and Nusatenggara Timur (hereafter referred to as the 'Oecussi border area').
  Surat perjanjian ini dimaksudkan untuk menumbuhkan saling pengertian dan mendorong kerjasama yang erat di antara kedua belah pihak yang berada di wilayah perbatasan untuk menangani insiden-insiden yang mungkin timbul dan juga untuk membantu process pemulangan pengungsi ke Timtim. Surat perjanjian ini tidak mengatur, atau mengganti, perundangan yang mengatur pengendalian perbatasan antara Indonesia dan Timtim. Wilayah perbatasan terdiri dari baik wilayah perbatasan Timor-Barat di antara Timtim dan Nusatenggara Timur ('wilayah perbatasan East-West'), maupun wilayah perbatasan Oecussi di antara Daerah Kantong Oecussi dan Nusatenggara Timur ('wilayah perbatasan Oecussi').
 
3. The following articles are the understandings to be observed by the parties:
  Pasal-pasal yang disetujui dan dipatuhi oleh semua pihak adalah sebagai berikut:
 
a. Article 1. The recognized coordination lines between the East-West and the Oecussi border areas of East Timor and Nusatenggara Timur are the provincial limits depicted on the Government of Indonesia, National Mapping and Survey Coordination Body, 1:25 000, topographic map series, Edition 1-1993 (hereafter referred to as the 'boundary'). The parties acknowledge that the practical implementation of the recognised boundary may require, from time to time the negotiation of an agreed geographical deviation from that indicated on the boundary map due to the influence of traditionally recognised, or colonial era boundaries or local terrain features such as rivers and hills.

The use of this boundary is for the purposes of military tactical coordination only and does not imply that this is the internationally recognized border between East Timor and Nusatenggara Timur.

  Pasal 1. Garis-garis koordinasi di antara wilayah perbatasan Timor Timur bagian barat dan wilayah perbatasan Oecussi dengan Nusatenggara Timur, adalah batas-batas propinsi seperti digambarkan pada peta pemerintah Indonesia, Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional, 1:25 000 seri peta topografi terbitan 1-1993 (selanjutnya disebut sebagai garis batas). Kedua belah pihak menerima bahwa dalam pelaksanaan dilapangan yang berhubungan dengan garis batas tersebut, sewaktu-waktu dibutuhkan negosiasi untuk mencapai kesepakatan mengenai penyimbangan geografis dari batas-batas yang tertera dalam peta atas pertimbangan yang diakui secara tradisional atau garis batas kolonial, atau kondisi lapangan seperti sungai-sungai dan bukit-bukit.

Garis ini digunakan hanya untuk keperluan koordinasi taktis militer dan tidak diartikan sebagai perbatasan yang diakui secara international antara Timor Timur dan Nusa Tenggara Timur.
 
b. Article 2. Along the boundary the TNI and UNTAET PKF will endeavour, where possible, to align the locations of their respective sub-unit force areas of responsibility.

Junction Points will be established at:
(1) Motaain GR YL 144091 (Junction Point Alpha);
(2) Nonora GR YL 322081 (Junction Point Bravo);
(3) Haekesak/Turiskain GR 347050 (Junction Point Charlie);
(4) Lakmaras GR YK 400865 (Junction Point Delta);
(5) Laktutus/Belulik-Leten GR YK 203747 (Junction Point Echo);
(6) Salele/Matamuk GR YK 291545 (Junction Point Foxtrot);
(7) Memo GR YK 4019020 (Junction Point Memo);
(8) Wini GR XK 623851 (Junction Point 1);
(9) Napan GR XK 526651 (Junction Point 2);
(10) Haumeniana GR XK 474516 (Junction Point 3);
(11) Aplal GR XK 375615 (Junction Point 4); and
(12) Oipoli GR XK 165655 (Junction Point 5).
  Pasal 2. Sepanjang garis batas Timor Timur dan Nusatenggara Timur, pihak TNI dan UNTAET PKF akan mencoba di mana mungkin menyesuaikan letaknya satuan-satuan serta daerah yang bertanggung jawab sepanjang garis perbatasan ini.

Titik-Titik simpangan akan diletakkan pada:
(1) Motaain GR YL 144091 (Titik Simpangan Alpha);
(2) Nonora GR YL 322081 (Titik Simpangan Bravo);
(3) Haekesak/Turiskain GR 347050 (Titik Simpangan Charlie);
(4) Lakmaras GR YK 400865 (Titik Simpangan Delta);
(5) Laktutus/Belulik-Leten GR YK 203747 (Titik Simpangan Echo);
(6) Salele/Matamuk GR YK 291545 (Titik Simpangan Foxtrot);
(7) Memo GR YK 4019020 (Titik Simpangan Memo);
(8) Wini GR XK 623851(Titik Simpangan 1);
(9) Napan GR XK 526651 (Titik Simpangan 2);
(10) Haumeniana GR XK 474516 (Titik Simpangan 3);
(11) Aplal GR XK 375615 (Titik Simpangan 4); and
(12) Oipoli GR XK 165655 (Titik Simpangan 5).
 

  The purpose of the Junction Points is to:
(1) facilitate the crossing of refugees from Nusatenggara Timur to East Timor;
(2) monitor property, vehicular and personnel passage; and
(3) provide a point of contact for tactical units to conduct incident management.
  Titik-titik simpangan ini dimaksudkan untuk:
(1) memudahkan pelintasan para pengungsi dari Nusatenggara ke Timor Timur;
(2) memantau perlintasan barang, kendaraan dan orang, dan
(3) menyediakan titik hubungan untuk satuan-satuan agar dapat melaksanakan penanganan insiden.
 
  UNMOs are to be stationed at the Junction Points and conduct tasks as Liaison Officers. Pemantau Militer UNMO akan ditempatkan pada titik-titik simpangan tersebut dan bertugas perwira penghubung The UNMOs are to be granted unhindered personal and vehicular passage across the boundary, through the Junction Points, in order for them to provide liaison between the TNI and UNTAET PKF. This should, as far as possible, be conducted after coordination at the level of battalion commander or second in command. The UNMOs are not to travel more than 50 meters beyond TNI border posts except when permitted and escorted by TNI.
  Anggota dan kendaraan UNMO diberikan kebebasan untuk menyeberangi garis batas melalui titik-titik simpangan tersebut untuk menjembatani kepentingan-kepentingan pihak TNI dan UNTAET PKF. Dengan terlebih melakukan koordinasi serendahnya dengan pejabat setingkat DANYON and WADANYON. Anggota UNMO tidak diperbolehkan melewati pos perbatasan TNI lebih dari 50 meter kecuali dengan ijin dan pengawalan TNI.
 
c. Article 3. If the TNI or UNTAET PKF wishes to initiate dialogue with each other, then arrangements are to be coordinated between the UNMOs at the Junction Points. If tactical imperatives preclude timely coordination between the UNMOs then the senior available representatives of the parties are to approach each other in an obvious and non-threatening manner with any weapon pointing downwards. This should, as far as possible, be conducted after coordination of battalion commanders. In these circumstances neither the TNI nor UNTAET PKF will travel beyond the immediate environs of the boundary.
  Pasal 3. Pada waktu TNI atau UNTAET PKF ingin melakukan hubungan satu sama lain, maka langkah-langkah persiapan akan dilakukan oleh UNMO pada titik-titik persimpangan. Kecuali dalam keadaan taktis di mana koordinasi dengan UNMO tidak dimungkinkan, maka wakil-wakil paling senior dari masing-masing pihak dapat mendekati satu sama lain dengan secara jelas menunjukkan sikap tidak mengancam dan harus mengarahkan senjata api ke arah bawah. Hal tersebut seharusnya dilakukan, selengkap-lengkapnya, setelah koordinasi pada tingkat DANYON. Selama hal ini berlangsung masing masing pihak tidak diperbolehkan melewati batas di sekitar perlintasan tersebut.
 
d. Article 4. Boundary crossing by TNI or UNTAET PKF military personnel is to only occur with the prior consent of both parties and is to be coordinated through the UNMOs. TNI and UNTAET PKF military personnel will cross the boundary on such occasions without weapons. The host party is responsible for the security of the military personnel of the party that have crossed.
  Pasal 4. Pelintasbatasan oleh anggota TNI atau anggota UNTAET PKF hanya dapat dilakukan atas persetujuan kedua belah pihak dan dikoordinasikan melalui anggota UNMO. Ketika pasukan TNI and UNTAET PKF menyeberangi perbatasan, selama keadaan seperti disebut, mereka tidak boleh membawa senjata api apa pun. Pihak penerima bertanggung jawab atas keamanan anggota militer dari pihak yang sudah menyeberang.
 
e. Article 5. The TNI and UNTAET PKF are responsible for the security of their respective sides of the boundary. Accordingly, boundary tactical coordination issues are to be discussed by the TNI and UNTAET PKF commanders at each level and they are to strive to seek resolution at the lowest possible level. For the resolution of significant incidents in the East-West border area there is to be direct communications established between the Commander Sector West (telephone 0061 8 9553 4222) and the Commander Korem 161, TNI (telephone 0062 380 833161). For the resolution of significant incidents in the Oecussi border area there is to be direct communications between Commanding Officer Jordan Battalion (telephone IMMARSAT 872 762399190) and Commander 1618 Military District Command, TNI (telephone 0062 38831076 at work or 0062 38831045 at home).

The parties will cooperate in the reporting and investigation of boundary incidents. This will be facilitated by an exchange of information and/or physical evidence between the TNI, UNTAET PKF and the UNMOs. An investigation will be considered finalised after each party is given the opportunity, and reasonable time, to provide its input. Where applicable, other relevant government and non-government agencies will be included and/or consulted in the investigative process.
  Pasal 5. Baik TNI maupun UNTAET PKF bertanggungjawab atas keamanan di dalam wilayah pada sisi garis batas masing-masing. Oleh karena itu, hal-hal tentang koordinasi taktis garis batas dibicarakan oleh masing-masing komandan (TNI dan PKF) pada tingkatan yang setara dan diusahakan untuk dicarikan penyelesaian pada tingkat komando yang terendah. Penyelesian insiden-insiden yang penting harus dilakukan melalui komunikasi antara Komandan Sektor Barat (telpon 0061 8 9553 4222) dan Komandan Korem 161 TNI (telpon 0062 380833161). Untuk penyelesaian insiden-insiden serius di Perbatasan Oecussi, Komandan Batalyon Jordan (telpon IMMARSAT 872762399190) dan Komandan Komando Distrik Milter 1618, TNI (telpon 0062 38831076 di tempat kerjanya atau 0062 38831045 di rumahnya) seharusnya langsung mengkomunikasikan.

Kedua belah pihak akan berkerjasama dalam pelaporan dan penyelidikan insiden-insiden garis batas. Hal ini akan dimudahkan dengan tukar-menukar informasi dan/atau bukti nyata di antara pihak TNI, UNTAET PKF dan UNMOs. Penyelidikan akan dianggap selesai sesudah masing-masing pihak telah diberikan kesempatan dan waktu untuk menyuarakan pendapat dalam investigasi tersebut. Jika perlu perwakilan baik pemperintah maupun bukan pemperintah dapat terlibat dalam investigasi.
 
f. Article 6. The implementation of this memorandum requires a close cooperative working relationship between the parties. Accordingly, both TNI and UNTAET PKF agree to cooperate closely on the understanding that there shall be mutual trust and mutual exchange of information.
  Pasal 6. Pelaksanaan surat perjanjian ini menuntut kerjasama yang erat di antara kedua pihak. Oleh karena itu baik TNI maupun UNTAET PKF sepakat untuk berkerjasama dengan erat berdasarkan pengertian bahwa untuk ini harus ada sikap saling percaya dan saling tukar keterangan.
 
g. Article 7. Representatives of humanitarian aid agencies are to be granted unhindered personal and vehicular passage across the boundary. In order for them to provide humanitarian assistance to the people of East Timor and Nusatenggara Timur, these representatives are to be requested to inform the TNI, and UNTAET PKF military personnel at the Junction Points listed in Article 2, each time they cross.
  Pasal 7. Anggota dan kendaraan perwakilan badan-badan bantuan kemanusiaan diberi kebebasan penuh untuk melintasi garis batas. Supaya mereka bisa menyediakan bantuan kemanusiaan kepada masyarakat Timor Loro Sae dan Nusatenggara Timur perwakilan badan-badan bantuan kemanusiaan harus memberitahukan pos perbatasan (TNI dan PKF) di titik-titik simpangan, termaktub dalam Pasal 2, setiap kali mereka menyerberangi.
 
h. Article 8. Refugees native to East Timor wishing to return from Nusatenggara Timur to East Timor are to be granted unhindered personal passage across the boundary. Those not native to East Timor, must obtain permission from the Government of Indonesia. Refugees remain subject to the provisions of Article 9. They are to be allowed to proceed with their personal belongings including vehicles provided that they can show proof of ownership of the vehicle. Refugees who have returned to East Timor but wish to travel to Nusatenggara Timur will be allowed to do so only after both TNI and UNTAET PKF give approval, and after compliance with any civil law requirements.
  Pasal 8. Para putra daerah asal Timor Loro Sae pengungsi yang ingin pulang dari Nusatenggara Timur ke Timor Timur diberi kebebasan penuh untuk melintasi batas. Bagi yang bukan putra daerah Timor Loro Sae harus seijin Pemerintah Republik Indonesia. Sambil tetap dikenakan Pasal 9 berikut, pengungsi-pengungsi diperbolehkan untuk melintasi batas dengan membawa barang-barang milik pribadi mereka termasuk kendaraan kalau dapat menunjukkan kepemilikan kendaraan tersebut. Para pengungsi yang sudah pulang ke Timor Timur tetapi ingin melintas batas ke Nusatenggara Timur hanya akan diijinkan setelah ada persetujuan dari TNI dan UNTAET, dan juga setelah mereka memenuhi persyaratan perundangan sipil.
 
i. Article 9. Both the TNI and UNTAET PKF military personnel will disarm any individual not authorized to possess firearms and non-traditional weapons.
  Pasal 9. Baik anggota TNI maupun anggota UNTAET PKF akan melucuti segala jenis senjata api dan senjata non-tradisional dari siapapun yang tidak berwenang untuk memegangnya.
 
j. Article 10. The parties will conduct a meeting known as the Tactical Coordination Working Group (TCWG) every fortnight at a mutually agreed location to discuss matters arising from the operation of this memorandum, including any amendments, amplifications, deletions or additions to these articles. All proposed amendments, amplifications, deletions or additions require acceptance by the parties. The chairing of TCWG meetings will alternate between the TNI and UNTAET PKF.
  Pasal 10. Kedua belah pihak masing-masing akan melaksanakan pertemuan yang disebut Tactical Coordination Working Group (TWCG) / Kelompok Kerja Koordinasi Taktis (K3T) setiap dua minggu di tempat yang telah disepakati untuk membahas hal-hal yang muncul dari pelaksanaan surat perjanjian ini, termasuk perubahan, penegasan, pengurangan atau penambahan pasal-pasal ini. Semua perubahan penegasan, pengurangan atau penambahan yang diusulkan memerlukan persetujuan semua pihak. Pimpinanan TWCG/K3T akan digilir di antara pihak TNI dan UNTAET PKF.
 
k. Article 11. This memorandum of understanding may be amended or revised at any time by the written mutual consent of the parties, addressed and delivered to the respective signatories to this memorandum of understanding.
  Pasal 11. Surat perjanjian ini dapat diubah atau diperbaiki kapan saja berdasarkan kesepakatan bersama yang ditulis oleh kedua belah pihak yang selanjutnya kesepakatan tersebut dialamatkan dan disampaikan kepada penandatangan-penandatangan surat perjanjian ini.
 
l. Article 12. Any disagreement regarding the interpretation or application of this memorandum of understanding will be resolved through consultation between the parties.
  Pasal 12. Silang pendapat mengenai pengertian atau penerapan dan penerapan surat perjanjian ini akan diselesaikan melalui konsultasi di antara semua pihak.
 
4. This memorandum takes effect on the date of signature.
Dated April 2000.
  Surat perjanjian ini mulai berlaku setelah ditandatangani pada tanggal tersebut.
Tanggal April 2000.

 

KIKI SYAHNAKRI
MAJOR GENERAL (TNI)
COMMANDER IX MAC
For TNI
JAIME S DE LOS SANTOS
LIEUTENANT GENERAL
COMMANDER UNTAET PKF
For THE UNTAET Military Component
MAYOR JENDRAL (TNI)
PANGLIMA DAERAH MILITER IX
Atas nama TNI
LETNAN JENDRAL
KOMANDAN PKF
Atas nama UNTAET Komponen Militer